Selasa, 28 Januari 2014

Anakku Sayang, Anakku Malang

Ralph Waldo Emerson pernah berkata, kita  adalah apa yang kita makan, kita adalah apa yang kita baca, kamu adalah apa yang kamu makan, kamu adalah apa yang kamu baca. Dalam hal ini, bagi penulis, kita adalah apa yang kita tonton. Tayangan positif akan mempengaruhi alam bawah sadar kita. Menggerakkan tubuh kita untuk melakukan hal-hal yang baik. Menjadikan kita sebagai pribadi-pribadi yang positif. Karena Aristoteles pun meyakini bahwa kita adalah apa yang kita lakukan berulang kali.

Saat ini, televisi sudah bukan lagi merupakan barang mewah bagi sebagian besar penduduk dunia. Televisi seolah menjadi alat yang paling kuat dalam segala hal. Televisi merupakan salah satu media yang memegang peranan penting dalam perputaran informasi abad ini.

Keberadaan televisi dalam satu rumah seolah sudah menjadi suatu keharusan. Saat ini rasanya sangat sulit untuk menemukan keluarga yang tidak memiliki TV. Hampir seluruh rumah memiliki benda yang satu ini. Bagaimana tidak, selain sebagai penyebar informasi, si kotak ajaib ini juga berperan sebagai sarana edukasi dan hiburan bagi masyarakat.

Beragam stasiun TV dengan program siarannya yang bervariasi yang disajikan dengan kualitas gambar dan suara yang apik, menjadikan televisi sebagai sumber utama segala informasi, edukasi, dan juga hiburan yang dibutuhkan masyarakat. Sayangnya, pendidikan kerap dilupakan dengan hanya mengedepankan fungsi hiburan.

Kelahiran si kotak ajaib
Pada tahun 1884 seorang mahasiswa di Berlin menciptakan sebuah alat yang merupakan cikal-bakal pesawat televisi. Nipkow bercita-cita menciptakan prinsip-prinsip pembentukan gambar yang kemudian dikenal sebagai jantra Nipkow.

Gagasan awal televisi adalah transmisi elektrik dari elemen gambar dan suara secara simultan. Gelar bapak per-televisi-an dunia akhirnya jatuh pada Paul Nipkow yang mempatenkan ciptaannya pada tahun 1884. Nipkow disk atau jantra Nipkow melahirkan televisi mekanis, yaitu prinsip gambar kecil yang dibentuk oleh elemen-elemen secara teratur.

Televisi dan anak-anak
Televisi memiliki hubungan yang begitu dekat dengan anak-anak. Hubungan televisi dengan anak-anak bisa juga dikatakan sangat erat. Mengapa dapat dikatakan demikian karena ternyata bisa mengubah kedekatan anak-anak dengan orang tua mereka sendiri.

Kehadiran televisi bagaikan pisau bermata dua. Disamping perannya memberikan informasi penting dan beragam pengetahuan, si kotak ajaib itu pun bisa saja memberikan dampak negatif karena dapat mengganggu atau menghambat perkembangan anak, baik yang menyangkut fisik, psikis, maupun sosial.

Akhir-akhir ini sejumlah tokoh masyarakat dan pendidik mulai gerah dengan beberapa tayangan televisi dan pengisi acara yang dinilai berlebihan. Tontonan yang tidak layak disinyalir hanyalah menjadi pembodohan publik.

Pengaruh tayangan tersebut secara tidak langsung dan mungkin tidak kita sadari dapat menggerus budaya serta peradaban anak-anak sebagai aset bangsa. Anak-anak yang masih begitu polos belum bisa memahami apakah tayangan yang ditonton layak ditiru atau tidak.

Tayangan-tayangan televisi yang tidak berisi unsur pendidikan, yakni tayangan tak mendidik sangat rentan memberikan efek negatif pada anak-anak. Kerugian atau dampak buruk tayangan televisi oleh anak-anak sebagai penonton, lebih bersifat jangka panjang jika dibanding penontonnya dari kalangan dewasa, sebab anak-anak cenderung menerima begitu saja apa yang disaksikan.

Kebiasaan menonton televisi bagi anak bisa berakibat menurunnya minat baca dan belajar. Anak-anak cenderung senang lama-lama di depan TV dibandingan belajar, dan membaca buku, apalagi kalau acaranya kesukaan mereka. Selain isu mengenai isi, format atau alur, jam tayang juga menjadi sorotan utama terhadap tayangan televisi. Terutama film-film kartun yang disiarkan pada jam belajar anak.

Siaran-siaran TV hanya mengejar rating tanpa memperhatikan nilai edukasi.  Sebuah tayangan acara seharusnya juga mempertimbangkan budaya adat di negeri sendiri. Jika sering “dicekoki” dengan tontonan-tontonan yang tidak bermutu, tontonan yang tidak menjadi tuntunan, akan dibawa kemana “karakter” bangsa ini?

Pendidikan karakter yang didengung-gaungkan oleh pemerintah layaknya pepesan kosong jika tidak diimbangi dengan memberikan tayangan yang sifatnya mendidik dan memiliki nuansa moralitas. Program-program hiburan di TV cenderung kontra-produktif dengan karakter dan budaya bangsa yang positif dan kompetitif yang sangat dibutuhkan bangsa ini.

Masyarakat harus cerdas
Sebenarnya program-program yang disuguhkan stasiun televisi yang ada sekarang ini merupakan representasi dari permintaan masyarakat. Sehingga apa yang tersaji dalam tayangan televisi adalah gambaran kehidupan masyarakat yang sesungguhnya. Memang miris, meskipun ada lembaga sensor, tapi toh tidak berdaya. Celakanya, tayangan televisi masih menjadi satu-satunya sumber hiburan bagi sebagian besar masyarakat.

Apa yang ada sekarang ini memang berhasil menghibur masyarakat banyak. Tapi acara itu, tidak mengandung unsur pendidikan yang baik bagi generasi penerus bangsa. Wakil Ketua KPI, Nina Muthmainah Armando mengungkapkan, sinetron, iklan, dan reality show menempati posisi teratas dari program siaran yang diadukan. Beliau juga mengatakan bahwa itu mungkin juga menunjukkan adalah yang paling banyak ditonton masyarakat.

KPI telah bekerja profesional mengawasi program televisi secara 24 jam. Namun ada saja program yang luput dari pengawasan KPI. Oleh karena itu KPI meminta partisipasi masyarakat untuk melaporkan tayangan televisi di luar kepatutan KPI. KPI membantah disebut diam dan tidak tegas. KPI menegaskan bahwa pihaknya selama ini sudah bersikap proaktif menanggapi keluhan masyarakat.

Banyak anak yang menonton acara yang seharusnya belum pantas mereka saksikan. Kebiasaan menonton televisi yang sudah berlebihan tanpa diikuti sikap kreatif mencermati substansinya sangat berbahaya bagi anak. Sudah menjadi kewajiban bagi orang tua untuk menyaring tayangan-tayangan yang ditonton anaknya. Orang tua harus cerdas dalam memilihkan tanyangan televisi.

Anak-anak perlu diberi wawasan dan pemahaman mengenai apa manfaat dari sebuah tayangan. Sehingga ia tahu mana tontonan yang bermanfaat, yang bisa dijadikan sebuah pelajaran, dan mana tontonan yang perlu diabaikan. Hal ini menjadi masalah bersama dan menjadi PR kita untuk mendidik generasi bangsa dari perlawanan dunia bisnis televisi.

*Ade Nurlaila, Anggota Muda Lembaga Penelitian dan Pengkajian Intelektual Mahasiswa UPI

Daftar Pustaka

Setiawan, Aries, dan Suryanta Bakti Susila. KPI Terima 3.196 Aduan Tayangan Tak Mendidik. [Online]. Tersedia: http://nasional.news.viva.co.id/news/read/275509-kpi-terima-3196-aduan-tayangan-tak-mendidik  [Akses 6 Januari 2014].


Tidak ada komentar:

Posting Komentar