Ralph Waldo Emerson
pernah berkata, kita adalah apa yang
kita makan, kita adalah apa yang kita baca, kamu adalah apa yang kamu makan,
kamu adalah apa yang kamu baca. Dalam hal ini, bagi penulis, kita adalah apa
yang kita tonton. Tayangan positif akan mempengaruhi alam bawah sadar kita.
Menggerakkan tubuh kita untuk melakukan hal-hal yang baik. Menjadikan kita
sebagai pribadi-pribadi yang positif. Karena Aristoteles pun meyakini bahwa kita
adalah apa yang kita lakukan berulang kali.
Saat ini, televisi
sudah bukan lagi merupakan barang mewah bagi sebagian besar penduduk dunia.
Televisi seolah menjadi alat yang paling kuat dalam segala hal. Televisi
merupakan salah satu media yang memegang peranan penting dalam perputaran informasi
abad ini.
Keberadaan televisi
dalam satu rumah seolah sudah menjadi suatu keharusan. Saat ini rasanya sangat
sulit untuk menemukan keluarga yang tidak memiliki TV. Hampir seluruh rumah
memiliki benda yang satu ini. Bagaimana tidak, selain sebagai penyebar
informasi, si kotak ajaib ini juga berperan sebagai sarana edukasi dan hiburan
bagi masyarakat.
Beragam stasiun TV
dengan program siarannya yang bervariasi yang disajikan dengan kualitas gambar
dan suara yang apik, menjadikan televisi sebagai sumber utama segala informasi,
edukasi, dan juga hiburan yang dibutuhkan masyarakat. Sayangnya, pendidikan
kerap dilupakan dengan hanya mengedepankan fungsi hiburan.
Kelahiran si kotak ajaib
Pada tahun 1884
seorang mahasiswa di Berlin menciptakan sebuah alat yang merupakan cikal-bakal
pesawat televisi. Nipkow bercita-cita menciptakan prinsip-prinsip pembentukan
gambar yang kemudian dikenal sebagai jantra Nipkow.
Gagasan awal televisi
adalah transmisi elektrik dari elemen gambar dan suara secara simultan. Gelar
bapak per-televisi-an dunia akhirnya jatuh pada Paul Nipkow yang mempatenkan
ciptaannya pada tahun 1884. Nipkow disk atau jantra Nipkow melahirkan televisi
mekanis, yaitu prinsip gambar kecil yang dibentuk oleh elemen-elemen secara
teratur.
Televisi dan anak-anak
Televisi memiliki
hubungan yang begitu dekat dengan anak-anak. Hubungan televisi dengan anak-anak
bisa juga dikatakan sangat erat. Mengapa dapat dikatakan demikian karena
ternyata bisa mengubah kedekatan anak-anak dengan orang tua mereka sendiri.
Kehadiran televisi
bagaikan pisau bermata dua. Disamping perannya memberikan informasi penting dan
beragam pengetahuan, si kotak ajaib itu pun bisa saja memberikan dampak negatif
karena dapat mengganggu atau menghambat perkembangan anak, baik yang menyangkut
fisik, psikis, maupun sosial.
Akhir-akhir ini sejumlah
tokoh masyarakat dan pendidik mulai gerah dengan beberapa tayangan televisi dan
pengisi acara yang dinilai berlebihan. Tontonan yang tidak layak disinyalir
hanyalah menjadi pembodohan publik.
Pengaruh tayangan
tersebut secara tidak langsung dan mungkin tidak kita sadari dapat menggerus
budaya serta peradaban anak-anak sebagai aset bangsa. Anak-anak yang masih
begitu polos belum bisa memahami apakah tayangan yang ditonton layak ditiru
atau tidak.
Tayangan-tayangan
televisi yang tidak berisi unsur pendidikan, yakni tayangan tak mendidik sangat
rentan memberikan efek negatif pada anak-anak. Kerugian atau dampak buruk
tayangan televisi oleh anak-anak sebagai penonton, lebih bersifat jangka panjang
jika dibanding penontonnya dari kalangan dewasa, sebab anak-anak cenderung
menerima begitu saja apa yang disaksikan.
Kebiasaan menonton
televisi bagi anak bisa berakibat menurunnya minat baca dan belajar. Anak-anak
cenderung senang lama-lama di depan TV dibandingan belajar, dan membaca buku,
apalagi kalau acaranya kesukaan mereka. Selain isu mengenai isi, format atau
alur, jam tayang juga menjadi sorotan utama terhadap tayangan televisi. Terutama
film-film kartun yang disiarkan pada jam belajar anak.
Siaran-siaran TV hanya mengejar
rating tanpa memperhatikan nilai edukasi. Sebuah tayangan acara seharusnya juga mempertimbangkan budaya
adat di negeri sendiri. Jika sering “dicekoki” dengan tontonan-tontonan
yang tidak bermutu, tontonan yang tidak menjadi tuntunan, akan dibawa kemana
“karakter” bangsa ini?
Pendidikan karakter yang didengung-gaungkan oleh pemerintah
layaknya pepesan kosong jika tidak diimbangi dengan memberikan tayangan yang
sifatnya mendidik dan memiliki nuansa moralitas. Program-program
hiburan di TV cenderung kontra-produktif dengan karakter dan budaya bangsa yang
positif dan kompetitif yang sangat dibutuhkan bangsa ini.
Masyarakat
harus cerdas
Sebenarnya program-program yang disuguhkan stasiun televisi
yang ada sekarang ini merupakan representasi dari permintaan masyarakat.
Sehingga apa yang tersaji dalam tayangan televisi adalah gambaran kehidupan
masyarakat yang sesungguhnya. Memang miris, meskipun ada lembaga sensor, tapi toh tidak berdaya. Celakanya, tayangan
televisi masih menjadi satu-satunya sumber hiburan bagi sebagian besar
masyarakat.
Apa yang ada sekarang ini memang
berhasil menghibur masyarakat banyak. Tapi acara itu, tidak mengandung unsur
pendidikan yang baik bagi generasi penerus bangsa. Wakil Ketua KPI, Nina Muthmainah Armando mengungkapkan, sinetron, iklan,
dan reality show menempati posisi teratas dari program siaran yang diadukan.
Beliau juga mengatakan bahwa itu mungkin juga menunjukkan adalah yang paling
banyak ditonton masyarakat.
KPI telah bekerja profesional mengawasi
program televisi secara 24 jam. Namun ada saja program yang luput dari
pengawasan KPI. Oleh karena itu KPI meminta partisipasi masyarakat untuk
melaporkan tayangan televisi di luar kepatutan KPI. KPI membantah
disebut diam dan tidak tegas. KPI menegaskan bahwa pihaknya selama ini sudah
bersikap proaktif menanggapi keluhan masyarakat.
Banyak anak yang menonton acara yang seharusnya belum pantas
mereka saksikan. Kebiasaan menonton televisi yang sudah berlebihan tanpa
diikuti sikap kreatif mencermati substansinya sangat berbahaya bagi anak. Sudah
menjadi kewajiban bagi orang tua untuk
menyaring tayangan-tayangan yang ditonton anaknya. Orang tua harus cerdas dalam
memilihkan tanyangan televisi.
Anak-anak perlu diberi wawasan dan pemahaman mengenai apa
manfaat dari sebuah tayangan. Sehingga ia tahu mana tontonan yang bermanfaat,
yang bisa dijadikan sebuah pelajaran, dan mana tontonan yang perlu diabaikan. Hal
ini menjadi masalah bersama dan menjadi PR kita untuk mendidik generasi bangsa
dari perlawanan dunia bisnis televisi.
*Ade Nurlaila, Anggota Muda
Lembaga Penelitian dan Pengkajian Intelektual Mahasiswa UPI
Daftar Pustaka