Pagi itu aku bangun agak kesiangan -seperti pagi-pagi sebelumnya. Ku dengar
ponselku berdering. Satu pesan masuk. Tak ada nama pengirim yang tertera disana
namun aku kenal dengan nomornya. Itu kamu. Ucapan salam yang aku pikir terlalu
pagi untuk diucapkan oleh kamu yang tak biasa menyapaku di pagi hari.
Ku lihat jam di sudut layar ponselku, aku harus bergegas. Subuh sebentar
lagi meninggalkanku. Aku pun pergi mandi. Tak ku hiraukan pesanmu itu. Aku
berencana membalasnya nanti saja, siang -atau bahkan sore hari. Sudah menjadi
kebiasaanku membuatmu menunggu. Dan tentu saja, menunggu sudah kamu jadikan
hobi sejak lama.
***
Sabtu pagi aku tak boleh bermalas-malasan. Kuliahku memang libur tapi aku
punya agenda lain yang lebih menyenangkan. Bertemu dengan adik-adik mentoring.
Berbagi ilmu dengan mereka. Berbagi ... rasanya menyenangkan. Ya, menyenangkan
jika kita keberadaan kita dapat membawa kebermanfaatan bagi yang lain. Seperti
sabda Rasul, "Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi
orang lain."
Di tengah-tengah kebersamaan dengan adik-adikku yang luar biasa bersemangat
dalam menuntut ilmu -sehingga semangat itu pun menular padaku, ponselku kembali
berdering. Satu pesan diterima. Tak ada nama pengirim yang tertera disana namun
aku kenal dengan nomornya. Itu kamu.
Bukan ucapan salam yang aku terima. Sebuah pesan singkat yang sebenarnya
tidak cukup singkat untuk disebut sebagai pesan singkat. Pesanmu agak panjang.
Aku pun sedikit sulit mencerna isinya. Ah, bukan karena banyaknya kata-kata yang
ada dalam pesan itu, namun makna dari kata-kata yang tertera dalam pesan
tersebut.
"Bismillahir ramaanir rahiim," dengan bacaan basmallah kamu
mengawali 'percakapan'. Dalam pesan itu kamu sampaikan niat baikmu. Katamu kamu
telah meminta restu pada kedua orang
tuaku, dan kini kau hanya perlu menunggu -ah, lagi-lagi menunggu- jawaban
dariku. "Aku ingin menjadi imammu. Insya Allah, menjadi imam yang patuh
pada aturan agama. Insya Allah dunia dan akhirat. Aku tidak sedang merayu
apalagi menggombal. Sudah menjadi kewajiban seorang imam bertanggung jawab atas
makmumnya, dunia dan akhirat," begitu katamu. Lalu kau bertanya apakah aku
mau menjadi makmummu. Apakah aku bersedia jika kamu menjadi imamku?.