Saya, ANa
Setiap kata mewakili dan menjadi kisah tersendiri bagi penulisnya. Meskipun demikian, sebenarnya kata-kata tidak bisa mewakili setiap perasaan yang dirasakan oleh manusia. Tapi setidaknya kata-kata adalah sebagian bentuk penjelasan dari rasa.-JAJ-
Selasa, 15 Desember 2015
Bersatu atau Tetap Satu-satu
Aku percaya bahwa segala sesuatu di dunia ini telah diatur sedemikian rupa sehingga oleh Sang Maha Penentu. Tak terkecuali tentang kamu dan aku. Apakah pada akhirnya akan bersatu, atau tetap satu-satu. Apapun yang terjadi nanti yakinlah itu adalah skenario terbaik untukmu, juga untukku.
Kamis, 05 November 2015
Memahamimu
Memilihmu bukan berarti karena aku memahamimu, lebih
memahamimu dibanding yang lain, terlebih paling memahamimu. Memilihmu karena
aku ingin memahamimu. Memahami apa yang membuatmu sulit untuk dipahami.
Memahami agar kelak aku dapat memahamkan bahwa kau tak sulit untuk dipahami,
walau itu tak berarti pula kau mudah untuk dipahami.
Adakah Aku di Sana
Adakah aku di sana
di antara kata pada cerita
Adakah aku di sana
di antara deretan cita-cita
Adakah aku di sana
di antara lirihnya doa-doa
Adakah aku di sana?
Jika tak kutemui aku di sana
percayalah di sini kau selalu ada
Antara Keinginan dan Kekhawatiran
Banyak. Sungguh banyak yang ingin aku ceritakan, yang ingin
aku bagikan, yang ingin aku tanyakan, padamu, tentangmu. Lalu mengapa tak kulakukan? Rupanya kekhawatiran masih lebih
besar daripada keinginan itu. Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan. Jadi, aku
mohon dengan sangat, kau mau menerimanya dengan penuh pengertian. Dan, jika kau
ingin tahu, bukan hanya kau yang menunggu. Karena aku pun begitu, selalu menanti
saat-saat itu. Ketika bibir ini tak ragu lagi untuk bercerita, berbagi, dan
bertanya. Apa aku terlalu pandai berpura-pura sehingga tak dapat kau lihat, tak
dapat kau rasakan bahwa aku pun menunggu? Sungguh t e r l a l u.
Senin, 12 Oktober 2015
Kampung Naga
Kampung Naga, secuil keindahan alam dan budaya Indonesia
Minggu, 4 Oktober 2015. Sekitar pukul 07.08 WIB, sepeda
motor yang kami tumpangi melaju kencang diiringi udara sejuk pagi itu.
Kira-kira satu jam kemudian kami sampai di tempat tujuan. Ku akui, sejauh ini
inilah perjalanan terjauh yang pernah kami tempuh bersama.
Setibanya di sana, kami disambut dengan ucapan selamat
datang khas masyarakat Sunda “wilujeng sumping” yang terpampang di sebuah papan
besar yang terbuat dari kayu. Unik, artistik. Cantik.
Entahlah, kata apa lagi yang bisa menggambarkannya. Bisakah
kau membayangkan itu karena aku tak pandai berkata-kata?
Karena bagiku ini adalah yang pertama kali, maka begitu
samapi disana rasanya aku tak mudah untuk percaya. Bahagia rasanya bisa menapakkan
kaki di tanah setelah melewati perjalanan jauh. Ku gerakkan badanku seperti
orang melakukan pemanasan sebelum memulai berolahraga. Ah… punggungku. Padahal
usiaku baru sekian. “Jangan senang dulu, perjalanan kita masih jauh,” tiba-tiba
suara itu mengagetkanku.
Kami pun melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Di
depan sana, ada tangga menurun dengan jumlah yang cukup membuatku menahan napas
barang satu dua detik. Sungguh, perjalanan kami masih jauh.
Karena untuk setiap
tujuan ada perjalanan yang harus dilalui. Dan dalam setiap perjalanan selalu
dibutuhkan perjuangan, kesabaran, dan keyakinan.
Keindahan yang tersembunyi di bawah lembah |
Tangga menuju Kampung Naga |
Kampung Naga, bukan perkampungan biasa. |
Selasa, 06 Oktober 2015
Memilih
Memilih itu,
bukan hanya tentang rasa
ia harus disertai daya dan upaya
Memilih itu,
bukan hanya soal keinginan
ia harus dibarengi dengan keseriusan
Memilih itu,
bukan hanya mengenai kemauan
ia harus ditemani dengan kemampuan
Karena memilih bukan sekadar memilih.
Jumat, 11 September 2015
Point 11
11 September 2015
Ketika aku menulis tentang ini, maka aku sedang berada pada
salah satu malam di September 2015.
Sungguh waktu ini terasa begitu cepat berlalu. September
tiga tahun yang lalu aku masih berstatus mahasiswa baru. Tapi sekarang, label
itu telah hilang. Lebih tepatnya berganti. Memang hidup ini adalah tentang
pergantian. Lain waktu kita masih bocah ingusan, kini kita telah menjelma
sebagai manusia yang mau tidak mau harus siap dengan segala tantangan
kehidupan.
Tapi untuk malam ini bukan itu yang hendak aku sampaikan. Aku
ingin mengajakmu kembali mengenang.
September tiga tahun yang lalu aku adalah salah seorang dari
ratusan mahasiswa baru Pendidikan Matematika. Baru. Mahasiswa baru.
Sudah merupakan suatu kewajiban bagi mahasiswa baru di
jurusan kami untuk membuat sebuah buku yang di dalamnya berisi profil kita.
Buku tersebut kami namai “Buku Ta’aruf Himatika ‘Identika’ UPI 2012”. Cukup
unik bukan namanya? Seperti yang sudah aku katakana tadi, saat itu kami masih
mahasiswa baru. Oleh karena itu, sebagai salah satu sarana untuk berkenalan
satu sama lain, baik itu sesama mahasiswa baru maupun dengan senior-senior kami
yang biasa kami sapa dengan sebutan Akang atau Teteh.
Buku Ta’aruf tersebut bersampul biru dan jingga. Entah
kenapa harus berwarna seperti itu aku lupa alasannya. Pokoknya biru dan jingga.
Yang perlu diingat, harus sama. Birunya sama, jingganya sama. Satu angkatan,
105 orang harus membuat buku dengan warna sampul yang sama. Jika satu saja ada
buku dengan warna yang lebih muda atau pun lebih tua, maka kau pun tahu
bagaimana jadinya. Karena kami mahasiswa baru. Tak hanya sampulnya saja yang
harus seragam. Isinya pun begitu. Benar-benar harus kompak. Padahal, menurutku
kekompakkan itu tidak harus sama. Itu menurutku. Terserah apa katamu, aku tidak
peduli.
Halaman pertama buku tersebut adalah biodata si pemilik
buku. Tentu saja untuk bukuku, aku isi dengan data diriku. Sesuai dengan format
yang telah ditentukan oleh Akang-Teteh. Biodata itu berisi nama lengkap, nama
panggilan, nomor induk mahasiswa, temat/ tanggal lahir, alamat asal, alamat
Bandung, sekolah asal, hobi, no. kontak, alamat e-mail, alamat facebook,
cita-cita, motto hidup, dan potensi yang dimiliki. Tak hanya itu, bagian ini
dilengkapi pula dengan pas foto berukuran 3 x 4 cm.
Halaman kedua adalah mengenai target 5 tahun ke depan. Nah,
inilah inti dari ceritaku malam ini. Di sana ku tulis 11 point mengenai
targetku untuk 5 tahun ke depan. Point terakhir inilah yang ingin aku bagikan
kepadamu, point 11. Tahukah kamu apa itu? Tentu kamu tidak tahu karena belum
pernah aku ceritakan sebelumnya ataupun kau membacanya. Aku tulis dengan tinta
hitam: “Semoga ‘kita’ berjodoh”.
Ah, menurutku itu cukup manis. Sederhana dan jujur. Mungkin
kamu bertanya-tanya siapa yang dimaksud dengan ‘kita’? Apakah aku denganmu? Seperti
harapanmu. Atau aku dengan siapa?
Saat itu aku memberanikan diri untuk menulis tetap point
kesebelas tersebut, setelah sebelumnya aku sempat ragu. Ragu karena aku sendiri
belum tahu siapa yang kumaksud dengan kita. Makanya, aku tulis kata tersebut
dengan didampingi tanda kutip. Tapi, kalau boleh aku jujur, saat itu, saat aku
menulisnya, aku sempat memejamkan mataku untuk beberapa saat. Sambil berdoa,
diam-diam ku hadirkan wajahnya. Diam-diam, aku berharap bahwa dia yang akan
menemaniku menjadi ‘kita’. Aku memohon agar apa yang aku inginkan bukan hanya
aku yang menginginkannya.
Tapi, tahukah kamu ketika mataku kembali terbuka nama siapa
yang seketika terbersit dalam ingatanku? Namamu.
Aku tak mengerti rencana Tuhan. Ini lebih sulit dari satu
tambah satu sama dengan dua. Tapi, sampai saat ini, ketika aku mengingat
namamu, ketika itu pula semangat dan keyakinan membersamaiku. Aku tak pandai
merangkai kata untuk bercerita. Aku kesulitan untuk menemukan kata-kata yang
pas untuk membagikan kisah ini padamu. Tapi aku yakin, tanpa kata, rasa itu
tetap sama.
Tidak terasa kini sudah September lagi. Telah melingkar
sebuah cincin di jari manis tangan kiriku.
-ANa-
Langganan:
Postingan (Atom)